Dow Up 0.42% Nasdaq Up 0.63%
Apr 21: 24,138.31  Up 242.21 (1.01%)  

HANG SENG INDEX (^HSI)

HANG SENG INDEX

(HKSE: ^HSI )
Index Value:24,138.31
Trade Time:Apr 21
Change:Up 242.21 (1.01%)
Prev Close:23,896.10
Open:24,090.55
Day's Range:24,031.42 - 24,185.49
52wk Range:18,971.50 - 24,988.60
Quotes delayed, except where indicated otherwise. Currency in HKD.

Index Components - Top Movers

SymbolPrice% Change
0762.HK16.12Up 5.22%
0144.HK37.55Up 4.60%
1088.HK36.85Up 3.79%
0700.HK219.60Up 2.33%
0883.HK19.88Up 2.16%
2600.HK7.59Up 2.15%
1199.HK16.72Up 1.95%
0857.HK11.88Up 1.89%
0293.HK19.44Up 1.67%
1398.HK6.70Up 1.67%

Sunday, May 29, 2011

Kilau Emas Takkan Pudar: Investasi Yang Masih Menguntungkan




Saat ini ekonomi global semakin pulih dari krisis finansial. Salah satu indikator yang paling jelas adalah membaiknya bursa saham global. Didukung oleh mantapnya pendapatan perusahaan dan ekspektasi pulihnya ekonomi AS, bursa saham global, yang diukur oleh Indeks MSCI Dunia melonjak ke level tertinggi 30 bulannya pekan lalu, melampaui level tertinggi Juli 2008 saat sebelum krisis. Begitu pula dengan bursa AS (S&P) yang terbang ke 32 bulan tertinggi atau tertinggi sejak Juni 2008, bursa  Inggris (FTSE) yang melambung ke 32 bulan tertinggi dan bursa Eropa (FTSEurofirst) yang menanjak ke level 29 bulan tertinggi. Tidak mau kalah, bursa Jepang (Nikkei) pun naik ke level tertinggi dalam 9 ½ bulan.
Pada kondisi optimis seperti ini adalah wajar jika kebanyakan investor berlari menuju instrumen investasi tradisional seperti bursa saham, obligasi dan properti. Dan, bisa jadi kebanyakan dari mereka mengabaikan kelas investasi alternatif seperti emas.
Bagi sebagian orang, emas  adalah aset alternatif aman (safe haven) yang relevan hanya di saat krisis. Dengan demikian, saat kondisi ekonomi membaik dan optimisme pasar berkembang maka emas tidak cocok lagi sebagai instrumen investasi.

Tapi, benarkah?
Mari kita perhatikan bagaimana pemulihan ekonomi global itu diupayakan dan seperti apakah konsekuensinya.
Pada awalnya krisis finansial global sempat menekan ekonomi global ke titik terburuknya sejak era Depresi Besar. Bursa saham dunia, terutama bursa saham AS (Wall Street) anjlok. Ekonomi terkuat di dunia, yaitu AS pun dilanda resesi dengan tingkat pengangguran yang melambung. Tidak berhenti sampai di situ, krisis berlanjut ke Eropa dengan krisis hutang negara di mana negara peri feri (pinggiran) Uni Eropa seperti Yunani dan Irlandia harus menerima bantuan (bailout), sedang Portugal dan Spanyol terancam menjadi negara calon penerima bailout berikutnya sehingga memicu pemikiran tentang bubarnya Uni Eropa.
Konsekuensi dari semua itu adalah stimulus moneter berupa kebijakan pelonggaran moneter dengan menekan suku bunga serendah mungkin dan kebijakan stimulus fiskal demi memacu pertumbuhan ekonomi. AS merupakan pemimpin utama dalam kebijakan tersebut. Federal Reserves, bank sentral AS, menetapkan suku bunga sangat rendah mendekati nol persen diiringi memperluas basis moneternya dan memompa lebih dari satu trilyun dollar likuiditas ke dalam ekonomi AS. Bahkan hingga saat ini Federal Reserves masih merencanakan kebijakan pelonggaran moneter berupa pembelian aset sebesar 600 milyar dollar. Bank sentral lainnya seperti Bank Sentral Eropa  dan Bank Sentral Inggris pun melakukan kebijakan serupa meski dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.
Di sisi lain, pemerintah AS pun melakukan kebijakan stimulus yang luar biasa besar demi mengurangi tingkat pengangguran dan memacu ekonominya. Negara-negara G-20 pun, termasuk Cina, Jepang, Uni Eropa, dan Inggris telah meningkatkan belanja fiskalnya demi memicu pertumbuhan ekonomi.
Dengan berbagai kebijakan stimulus global tersebut, ekonomi dunia berhasil terhindar dari keterpurukan dan mulai bangkit. Tapi, persoalan tidak berhenti sampai di sini.
Perbaikan ekonomi global ditandai dengan pelemahan nilai dolar AS serta meningkatnya harga komoditas energi dan pangan.
Dolar AS saat ini telah kehilangan lebih dari 30% nilainya dibandingkan dengan mata uang utama dunia dalam sepuluh tahun terakhir. Saat dolar AS melemah maka kita akan membutuhkah lebih banyak dolar untuk membeli sejumlah komoditas energi dan pangan yang sama. Karenanya sangat logis jika harga komoditas energi dan pangan menguat.
Harga minya mentah selama enam bulan terakhir telah naik sebesar 14 persen. Harga minyak dunia (WTI) sempat berada di atas level 90 dolar per barel sedangkan harga minyak brent di pekan lalu melonjak mendekati level 105 dolar per barel.
Yang lebih memprihatinkan, harga komoditas pangan belakangan ini melonjak tak terkendali. Badan PBB urusan pangan dan agrikultur (FAO) melaporkan bahwa harga pangan dunia memecah rekor tertinggi dalam sejarah pada bulan Januari. Selama tujuh bulan berturut-turut, indeks harga pangan FAO, yang mengukur harga komponen dasar pangan, naik 3,4%   dibandingkan bulan Desember, menunjukkan poin rata-rata 231 di Januari, rekor tertinggi sejak awal 1990. Presiden World Bank, Robert Zoellick memperingatkan pemimpin dunia untuk menangani volatilitas harga. "Kita segera menghadapi masalah lebih besar dari kenaikan harga komoditi," tegasnya.

Harga komoditas lunak semakin naik didorong oleh ketatnya  suplai terkait gangguan cuaca dimana  fenomena cuaca La Nina telah menyebabkan banjir di beberapa bagian Asia, Australia dan Brazil, sementara menyebabkan musim kering di Argentina dan sebagian wilayah Cina.
Kompleksitas masalah semakin memusingkan di mana krisis finansial semakin memicu pergeseran kutub ekonomi. Saat AS dan Eropa terpuruk, Cina menjadi penopang pertumbuhan ekonomi global.
Jika dua puluh tahun lalu, pertumbuhan di Emerging Market (termasuk Cina) hanya menyumbang sepertiga dari pertumbuhan global sementara negara maju mencapai dua-pertiga. Kini hubungan telah bergeser secara signifikan, dengan Emerging Market saat ini memacu 75% dari pertumbuhan global dan negara-negara maju hanya berperan sekitar 25%.
Pergerakan produksi di negara-negara Emerging Market dengan energi yang kurang efektif berarti konsumsi energi menjadi lebih tinggi secara keseluruhan untuk tingkat produksi global tertentu. Memproduksi sepeda motor di Cina misalnya menggunakan energi secara kurang efektif dibandingkan produksi di AS. Mengingat proses ini baru berada di tahap awal, maka sepertinya kebutuhan energi untuk Emerging Market masih akan menguat.
Kenaikan harga komoditi pangan pun akan sulit dikendalikan mengingat Emerging Market yang berpenduduk luar biasa besar tersebut justru menempatkan makanan sebagai komponen yang memiliki bagian jauh lebih tinggi dari konsumsi swasta. Di India, misalnya komponen makanan merupakan 57% dari seluruh konsumsi pribadi.

Konsekuensi selanjutnya dari semua ini adalah: INFLASI.
Bank-bank sentral di Asia sudah mulai mempercepat kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.
Baru-baru ini, Bank Sentral Indonesia menaikkan suku bunga pada tanggal 4 Februari setelah suku bunga sudah tidak berubah sejak pertengahan tahun 2009 menyusul serangkaian penurunan suku bunga.
Bank Sentral Cina atau People's Bank of China (PBOC) pada hari Selasa 8 Februari lalu kembali menaikkan suku bunga untuk ketiga kalinya sejak bulan Oktober, demi meredam inflasi. Suku bunga pinjaman acuan satu tahun akan meningkat menjadi 6,06% dari 5,81% dan suku bunga deposito satu tahun akan meningkat menjadi 3% dari 2,75%, akan efektif hari Rabu. Harga konsumen naik 4,6% per tahun pada bulan Desember setelah naik 5,1% pada bulan November.
Ancaman inflasi pun mulai terlihat di Eropa. Data inflasi Januari Inggris menujukkan lonjakan  ke 4 persen, dua kali lipat dari  target 2 persen Bank Sentral Inggris. Di Uni Eropa, pada rapat moneter bulan Januari, Presiden Bank Sentral Eropa Trichet telah memperingatkan adanya ancaman inflasi berkait kenaikan harga. Data inflasi Januari Eropa menguat hingga 2,4 persen, tertinggi sejak Oktober 2008, melampaui target 2 persen Bank Sentral Eropa.

Saat INFLASI menjadi ancaman, kemana biasanya investor akan beralih? Ya, EMAS.
Secara umum, emas bisa disebut sebagai acuan pelarian nilai. Investor membeli emas saat mereka cemas soal nilai dari aset lainnya yang bisa tergerus oleh inflasi. Berkait hal ini emas bisa juga disebut sebagai instrumen yang sangat aman bagi perlindungan investasi atau dikenal “safe haven.”
Emas pada dasarnya merupakan mata uang. Ya, mata uang yang nyata namun dalam bentuknya yang unik. Semua mata uang, kecuali emas, sesungguhnya mata uang yang sintetis, yang pada akhirnya melemah nilainya dalam tingkat yang berbeda. Berbeda dengan emas yang mempertahankan nilainya.
Emas dianggap memiliki kewajiban tradisional sebagai alat lindung nilai (hedge) terhadap penurunan nilai mata uang sekaligus sebagai cara untuk melindungi kekayaan seseorang. Dalam sejarah, emas telah sangat efektif untuk menjaga kekayaan. Jadi, tidak mengejutkan bahwa harga emas meningkat lebih dari lima kali di 10 tahun terakhir. Emas telah mengalahkan sebagian besar saham, obligasi perusahaan dan pemerintah, properti serta mata uang selama sepuluh tahun terakhir.
Bahkan, secara alami, emas memiliki persediaan yang terbatas sementara permintaan setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini juga menjadi salah satu faktor yang memicu penguatan harga emas.

Inflasi Global Yang Dilematis
Terlepas apakah suatu negara memiliki angka inflasi yang tinggi, ancaman inflasi saat ini jelas menjadi masalah yang pelik bagi negara manapun mengingat sifatnya yang mengglobal.
Inflasi semakin menambah masalah yang sudah dipicu oleh lonjakan harga komoditas energi dan pangan.
Pada negara-negara Emerging Market atau negara berkembang, pengaruh kenaikan harga komoditas pangan dan energi terhadap tingkat inflasi dan daya beli jauh lebih terasa. Karenanya, masalah ini sangat potensial bertransformasi menjadi krisis sosial dan politik, sebagamana telah terjadi di Tunisia dan Mesir dan kini merembet ke negara lainnya seperti Bahrain dan Aljazair.
Ancaman inflasi di sisi lain juga menjadi dilema kebijakan sebagaimana terlihat pada Uni Eropa dan Inggris yang hingga saat ini ekonominya masih terbebani oleh kebijakan penghematan anggaran (austerity). Uni Eropa dan Inggris saat ini masih belum memiliki kepastian apakah mereka akan menghentikan kebijakan bantuan stimulus moneter berupa pembelian aset atau pembelian obligasi (surat hutang negara) yang sejatinya adalah kebijakan pelonggaran moneter. Jika ancaman inflasi semakin menguat maka mereka terpaksa harus menaikkan suku bunga yang merupakan kebijakan pengetatan moneter. Jika demikian, maka hal ini sangat berbahaya khususnya bagi Uni Eropa yang belum lepas dari krisis hutang. Kenaikan suku bunga bisa menjadi pemicu kebangkrutan bagi negara Uni Eropa penerima bailout seperti Yunani dan Irlandia dan bisa menjadi pukulan berat bagi negara Uni Eropa yang sedang berjuang menghindari bailout seperti Portugal dan Spanyol.
Sedikit saja kesalahan dilakukan oleh bank sentral global, maka inflai ini bisa memburuk menjadi hiper-inflasi.

Krisis Masih Jauh Dari Usai
Semua ini membawa kita kepada pemikiran bahwa ekonomi global belumlah sepenuhnya pulih dari krisis dan bahkan berpotensi memunculkan krisis baru.
Peter Munk, kepala produsen emas terbesar di dunia, Barrick Gold, berbicara dalam interview di Davos baru-baru ini, “Jika kalian adalah utopian, jika kalian percaya masalah mata uang, masalah terorisme, masalah kerusuhan di seluruh dunia akan diselesaikan pada akhir tahun, maka emas akan mengalami perjalanan yang sulit. Jika kalian percaya seperti saya bahwa kita membeli kedamaian sementara dari kepanikan tahun sebelumnya, dan fundamental masalah itu adalah masalah jangka panjang, maka sikap kita akan lebih posititf terhadap emas.”

Emas Sebagai Instrumen Investasi
Dengan semakin meningkatnya harga emas, maka emas pun semakin menarik sebagai instrumen investasi. Bukan hanya bank sentral, tetapi institusi finansial pun mengejar emas sebagai instrumen investasi spekulatif dan strategi portofolio mereka. Mereka pun melakukan ini sebagai antispasi jika terjadi perbaikan ekonomi global diiringi berlanjutnya kebijakan stimulus fiskal dan moneter yang akan memicu kenaikan harga. Bukan hanya emas secara fisik, namun kebutuhan investasi atas emas juga terus meningkat dalam bentuk sekuritas berbasis emas atau “gold-backed securities” dalam pasar Exchange Traded Funds atau ETF. Meningkatnya penggunaan emas ETF dalam rangka diversifikasi risiko juga pada gilirannya secara siklus semakin meningkatkan harga emas.

Outlook Bullish Jangka Panjang Emas

XAU_DAILY_21_02_A
Januari tahun ini, emas sempat terpuruk dan menjadikan Januari 2011 sebagai bulan terburuk emas selama 14 tahun. Namun, sepertinya secara teknikal emas masih  bullish (menguat) dalam jangka panjang.
Sementara Emas berjangka jatuh sebanyak 8,1 persen pada Januari lalu, mereka masih 20 persen lebih tinggi dari tahun yang lalu. Logam ini telah meningkat selama 10 tahun berturut-turut, kenaikan beruntun terpanjang dalam setidaknya sembilan dekade.
Salah satu indikator yang bisa digunakan untuk mengantisipasi bullish emas tersebut adalah Moving Average (MA) 150 Day atau rata-rata pergerakan 150 harinya yang memberi indikasi bahwa emas mungkin akan naik 21% ke level rekor akhir Juni nanti.
Emas anjlok ke level 1308.10 pada 28 Januari, level terendah  2011. Di hari yang sama, emas rebound dari MA 150 Day saat itu berada dilevel $1,308.30. Hal ini bisa jadi adalah sinyal bahwa emas berpotensi reli hingga ke level baru di $1,630 sekitar akhir Juni nanti.
Sebelumnya, emas rebound dari MA 150 Day sebanyak tiga kali pada tahun lalu. Terakhir kali emas diperdagangkan di dekat MA 150 Day berada di akhir Juli. Sejak 1 Agustus, harga telah maju 13 persen. Mereka menyentuh rekor $ 1,432.50 pada tanggal 7 Desember. Emas tersebut tidak jatuh di bawah MA 150 Day sejak Januari 2009.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Daemon Vagrant - Premium Blogger Themes | Blogger Templates